Antara Mental Pengusaha & Mental Pekerja, Apa Bedanya?

1 5,219

Ada yang tahu sebenarnya apa perbedaan signifikan antara mental pengusaha dan pekerja? Dalam artikel berikut akan dijelaskan dengan detail perbedaan keduanya.

Plus, skill dan kompetensi apa saja yang diperlukan untuk menjadi seorang pengusaha vice versa pekerja.

Minggu yang lalu saya sempat makan malam dengan seorang teman. Sebut saja namanya Tiara. Tiara memutuskan untuk menjadi entrepreneur setelah selesai kuliahnya di Universitas Indonesia.

Tiara masih muda, cantik, pintar dan optimis.
We can see the passion in every word she said.

Dia cerita bahwa memang sejak kuliah dia bertekad untuk menjadi entrepreneur.
Meskipun waktu itu dia tidak tahu apa-apa tentang bisnis, she keeps learning and trying.

And now she is very successfull in her business.
It is true that after years of success, her business is now slowing down.

Tetapi dengan optimisme yang Tiara punya, Tiara sudah mencoba-coba lagi bisnis baru dalam bidang yang baru.

Saya yakin Tiara dan bisnisnya akan bangkit kembali dan bisnisnya akan lebih sukses lagi di masa depan.

Ironisnya, sehari setelah makan malam dengan Tiara, saya makan siang dengan seorang teman lama.

Sebut saja namanya Hari. Dulunya Hari bekerja di sebuah hotel terkenal.
Hari bekerja di hotel itu selama hampir 20 tahun.

Selama bekerja Hari selalu bermimpi untuk menjadi pengusaha.

Sepertinya wah banget deh, punya usaha sendiri, punya karyawan, dan (dia pikir) nggak punya boss. Jadi waktu 3 tahun lalu ternyata perusahaannya melakukan efisiensi dan dia terkena PHK, dia pun tidak bersedih. Uang pesangon yang dia terima pun dijadikan modal untuk memulai dan membesarkan usahanya.

Sayangnya ….. usaha yang dia rintis, yang pada awalnya menunjukkan tanda-tanda menggembirakan di tahun pertama, ternyata mulai terpuruk di tahun kedua. Dia pun kebingungan untuk menyelamatkan usahanya itu. Dan setelah 3 tahun, usahanya kembang kempis, modalnya habis, dan Hari pun menangis.

Apa yang bisa dilakukan Hari?

Kedua cerita di atas (nama disamarkan), ternyata menggambarkan 2 kasus entrepeneurship yang sering kita amati.
Yang satu berakhir sukses, yang satunya berakhir tragis.

Sebenarnya dua-dua nya ada kesamaannya.
Dua-duanya sama-sama bermimpi menjadi pengusaha.

Bedanya adalah Tiara dari kuliah sudah bermimpi menjadi pengusaha. Dan dia terus mencoba dan belajar bagaimana menjadi pengusaha yang baik.

Sementara itu, menurut cerita Hari, dia waktu bermimpi menjadi pengusaha sebenarnya karena waktu menjadi karyawan, dia tidak betah di perusahaannya. Tidak cocok dengan atasan dan teman-temannya. Merasa tidak berkembang kariernya.

Dia pun sangat berharap untuk mendapat pesangon dari PHK.

Be carefull what you wish for. You might get it.

Mental pengusaha ditempa dengan proses panjang penuh pengorbanan.
Mental pengusaha ditempa dengan proses panjang penuh pengorbanan.

Dan Hari pun di PHK karena program efisiensi di perusahaannya.
Hanya ada satu hal yang Hari lupa lakukan.

Dia lupa membekali dirinya dengan skills yang diperlukan.
Dia lupa bahwa he needs a certain set of skills to be an entrepreneur.
You need to sharpen your shaw to get there.

Hari has been an employee for the past 20 years.
Dia punya competences, skills, attitude dan mindset sebagai seorang pekerja (employee).
Bagaimana dia bisa berharap bahwa dalam sekejap dia bisa menyulap dirinya (sim salabim) menjadi seorang entrepreneur atau pengusaha.

Jadi ngerti kan? Kenapa dia kehilangan seluruh modalnya (uang pesangonnya) setelah 3 tahun ?
Memangnya begitu mudahnya mengubah mental pekerja menjadi mental pengusaha?
No waaay!!!

It takes completely different skills untuk menjadi seorang entrepreneur.

Tunggu dulu, saya ingin memperjelas sebentar sebelum ada misunderstanding.

Saya tidak bilang bahwa bahwa untuk menjadi employee itu jauh lebih mudah daripada menjadi entrepreneur. That’s not what I said.

Saya tidak bilang yang satu lebih mudah atau lebih sulit daripada yang lain.
Saya hanya bilang you need different skills set. Because you play different game.

Saya juga yakin bahwa para entrepreneur akan struggling kalau harus membina karier sebagai karyawan. Dan sebaliknya.

What I am saying is you need to understand the game you want to play, prepare and train yourself accordingly.

Jadi skills set apa yang diperlukan oleh employee dan entrepreneur?

Kita bahas satu persatu yuk ….

How to excel as employee?

1) Competent
Tidak ada “magic secret”, anda harus competent dalam bidang yang anda tekuni. Semakin competent semakin bagus, dan berarti semakin terbuka kemungkinan untuk dipromosi.
Tapi tunggu dulu … competent saja tidak cukup… what’s next?

2) Contribute
Anda harus yakin bahwa competency anda memang bisa diubah menjadi hasil yang benar-benar nyata untuk tim anda, untuk bos anda dan untuk perusahaan anda.
Jadi competency ditambah dengan kerja keras, extra effort dan extra milles akan menjadi kontribusi anda.

3) Collaboration
Seringkali untuk mencapai kinerja yang bagus anda harus bekerja sama dengan tim tim lain. Padahal seringkali KPI nya beda beda.
Makanya sering terjadi Silo-Silo di organisasi yang sama.
Make sure you have the right mentality to break the Silo and to think big picture as organization.

4) Change/Adaptability
Sebagai seorang employee anda akan mengalami banyak perubahan. Perubahan proses, team, objective, bahkan pergantian boss.
Orang-orang yang sukses dalam kariernya adalah mereka yang mampu beradaptasi dengan perubahan.

5) Coach
Pada saat seniority level anda makin naik, anda harus mentransfer ilmu anda ke orang lain. (Dan anda juga harus belajar ilmu yang lainnya lagi agar anda juga bisa dipromosikan).
Kemampuan anda menjadi coach yanh mampu sharing dan mengajari orang lain akan menjadi asset yang penting bagi karier anda.

Nah, sekarang kalau menjadi entrepreneur, apa dong yang kita perlukan? Mental pengusaha seperti apakah yang perlu dibentuk?

Kita lihat satu persatu yuk …

1) Focus
Entrepreneur harus mempunyai long term vision tentang bisnisnya dan fokus pada bagaimana mencapai goalnya. Akan banyak sekali distraction, challenges dan obstacles. Entrepreneur harus tetap fokus pada tujuannya.

2) Risk taking
Dengan menjadi seorang entrepreneur, anda mengambil resiko yang besar. Anda meresikokan pendapatan anda, credibility anda, dan keluarga anda. Siapkan anda dengan resiko itu? Mental pengusaha didapatkan dengan mengambil risiko-risiko yang ada.

No pain no gain.
When you succeed, the glory will be yours.
When you fail, you have to get up again, but it’s going to hurt you painfully and terribly.

3) Selling
Pada prinsipnya menjadi entrepreneur adalah berani menjual. Menjual ke customer anda, ke investor anda bahkan menjual nama anda dan perusahaan anda ke karyawan anda.
Dan pada setiap sales, pasti ada rejection (penolakan). Are you ready?

4) Resiliance
Jarang sekali entrepreneur yang berhasil pada saat pertama kali mereka berusaha menjalankan bisnisnya. Banyak yang harus gagal dan bangkit lagi dan gagal lagi dan bangkit lagi dan seterusnya.

Yang sukses adalah yang tahan uji, tahan banting, peristence, perserverance, keukeuh.
Apakah anda termasuk orang orang yang tahan banting?

5) Learning
Menjadi entrepreneur yang sukses untuk jangka panjang juga berarti anda terus menerus belajar dan belajar untuk memahami trend terbaru di market, di dalam bisnis, pada kompetisi dan pada perilaku pelanggan anda.

Di situlah perlunya continuous learning sebagai bagian dari skills set seorang entrepreneur. Disinilah mental pengusaha diasah.

Again, note ini lebih menekankan pada perbedaan skills yang dibutuhkan untuk dua jalur tersebut. Tapi juga bukan berarti satu skills yang dibutuhkan sebagai pengusaha tidak dibutuhkan pada jalur pekerja. Tidak juga.

So, ingat, untuk menjadi karyawan yang berprestasi bagus anda harus memiliki 5C ini:
– Competent
– Contribution
– Collaboration
– Change/adaptability
– Coach.

Kalau menjadi entrepreneur, apa dong yang kita perlukan:

1) Focus
2) Risk taking
3) Selling
4) Resiliance
5) Learning

Nah, sekarang anda sudah mengetahui skills yang dibutuhkan di kedua jalur berbeda itu kan? Mental pengusaha dan pekerja tentu sangat jauh berbeda bukan?

Tanyakan ke hati nurani anda sendiri.

Manakah jalur yang lebih cocok buat anda?

Because, you need to follow your heart, but you have to take care of your own future also.

Salam hangat,

Pambudi Sunarsihanto

Loading...
Tampilkan Komentar (1)